Sejarah serta biografi singkat Sunan Drajat.
Banyak sekali nama lain yang disandang oleh sunan Drajat diantaranya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Raden Imam, Syeh Masakeh, Sunan Maryapada, Maulana Hasyim, Masaikh Munat, Pangeran Syarifudin, dan pangeran Kadrajat, serta mungkin masih banyak lagi yang tidak diketahui.
Beliau merupakan Saudara kandung dari sunan Bonang yang lahir dari Dewi Condrowati.
Diketahui bahwa Sunan Ampel alias ayah dari sunan Drajat memiliki dua Istri yaitu bernama Dewi Condrowati (nyai Ageng Manila) dan Dewi Karimah.
Anak yang lahir dari Condrowati diantaranya yaitu:
-Siti Syari'ah (menikah dengan H. Utsman Sunan Manyuran)
-Siti Muthmainnah (menikah dengan Sayid Muhsin Sunan Wilis)
-Siti Hafsyah ( menikah dengan Sayid Ahmad Al Yamani)
-R Mahdum Ibrahim (sunan Bonang)
-R. Qosim (Sunan Drajat Sidayu)
sedang saudara lain yang lahir dari Dewi Karimah ada diantaranya yaitu:
-Dewi Murtasiyah (menikah dengan sunan Giri)
-Dewi Murtasimah (menikah dengan Raden Patah putra Demak
-Raden Husammudin (sunan Lamongan)
-Raden Zainal Abidin (sunan Demak)
-Pangeran Tumapel
-Raden Faqih (disebut sebut sunan Ampel 2)
Sunan Drajat terkenal akan Jiwa sosialnya yang tinggi, bahkan dalam penyampaiannya mengenai ajaran agama Islam beliau lakukan setelah mendekatinya dengan sosial terlebih dahulu sehingga ajarannya lebih mudah diterima dalam masyarakat.
Gelar Sultan Mayang Madu adalah bukti keberhasilannya menanggulangi kemiskinan yang mana gelar tersebut ia peroleh dari Sultan Demak yaitu Raden Patah pada tahun 1520 M.
Ia bisa melakukan semua itu karena ia memiliki wewenang atas daerah otonom Demak selama 36 tahun, dan filosofi Sunan Drajat dalam mengentas kemiskinan terserat serta terabadikan di dalam saf tangga ke 7 dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Dan inilah makna filosofi tersebut:
- Membangun resep tyasing Sasoma/membuat senang hati orang lain
- Jroning Suka kudu eling lan waspada/didalam keadaan suka/bahagia harus tetap ingat dan waspada
- Laksmitaning Subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah/dalam perjalanan dalam mencapai cita cita luhur kita harus tidak peduli dengan segala bentuk rintangan.
- Memper hardanaing pancadria/harus bisa menekan segala bentuk hawa nafsu.
- Heneng,hening,henung/ dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita cita luhur.
- Mulya guna pancawaktu/suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa dicapai dengan shalat lima waktu.
- Menehana taken marang wong kang wuta, menehana mangan marang wong kang luwe, menehana busana marang wong kang wuda, menehana ngiyup marang wong kang kodanan./berikan tongkat kepada orang yang buta, berikan makanan pada orang yang kelaparan, berikan baju pada orang yang telanjang, berikan peneduh kepada orang yang kehujanan. Maksudnya adalah ajarilah ilmu kepada orang agar pandai, sejahterakanlah masyarakat yang miskin, ajarilah sopan santun kesusilaan kepada orang yang tak memiliki malu, serta berilah perlindungan kepada orang yang menderita.
Penghargaan Sunan Drajat
Sunan Drajat terkenal sebagai pencipta tembang Mocopat -pangkur dan hingga kini sisa sisa alat gamelannya masih tersimpan rapi di Museum Daerah.
Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan sebuah Museum Daerah Sunan Drajat dan diresmikan oleh pemerintah Jawa Timur pada 12 Maret 1992 untuk menghormati Jasa jasa beliau yang telah mengajarkan Islam diwilayah Lamongan dan menjaga benda benda bersejarah Sunan Drajat.
Cerita dan legenda Sunan Drajat.
Cerita dan kisah seorang tokoh terkenal memang rentan terhadap hal hal yang berbau mistis, hal itu bisa jadi memang cerita yang nyata atau hanya sebuah cerita yang hanya dongeng belaka yang dilakukan oleh orang orang kurang bertanggung jawab. Berikut ini akan diceritakan kisah Sunan Drajat yang sudah mendarah daging dimasyarakat kita, jika ada kesalahan dan anda ingin memberikan sebuah penjelasan mengenai kebenaran dari cerita dibawah silahkan berikan pendapat anda di komentar atau hubungi admin di contact yang tersedia.
Sunan Drajat atau yang dikenal Raden Qosim dimasa mudanya menghabiskan waktu di daerah asalnya yaitu Ampeldenta Surabaya. Setelah usianya menginjak dewasa ia diperintahkan oleh ayahnya untuk berdakwah di pesisir barat Gersik.
Sunan Drajat terkenal sebagai pencipta tembang Mocopat -pangkur dan hingga kini sisa sisa alat gamelannya masih tersimpan rapi di Museum Daerah.
Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan sebuah Museum Daerah Sunan Drajat dan diresmikan oleh pemerintah Jawa Timur pada 12 Maret 1992 untuk menghormati Jasa jasa beliau yang telah mengajarkan Islam diwilayah Lamongan dan menjaga benda benda bersejarah Sunan Drajat.
Cerita dan legenda Sunan Drajat.
Cerita dan kisah seorang tokoh terkenal memang rentan terhadap hal hal yang berbau mistis, hal itu bisa jadi memang cerita yang nyata atau hanya sebuah cerita yang hanya dongeng belaka yang dilakukan oleh orang orang kurang bertanggung jawab. Berikut ini akan diceritakan kisah Sunan Drajat yang sudah mendarah daging dimasyarakat kita, jika ada kesalahan dan anda ingin memberikan sebuah penjelasan mengenai kebenaran dari cerita dibawah silahkan berikan pendapat anda di komentar atau hubungi admin di contact yang tersedia.
Sunan Drajat atau yang dikenal Raden Qosim dimasa mudanya menghabiskan waktu di daerah asalnya yaitu Ampeldenta Surabaya. Setelah usianya menginjak dewasa ia diperintahkan oleh ayahnya untuk berdakwah di pesisir barat Gersik.
berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk/prahu nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan
cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara.
Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional.
Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
Wafat sunan Drajat
Tidak banyak yang mengisahkan tentang wafatnya sunan Drajat, namun diketahui bahwa Sunan drajat wafat dimakamkan di Desa drajad kecamatan Panciran, Lamongan Jawa Timur, dan di tak jauh dari makam beliau terdapat Museum untuk menjaga benda benda sejarah peninggalan beliau, yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur pada 12 Maret 1992.
Itulah Biografi dan sejarah singkat Sunan Drajat, semoga bermanfaat.
0 komentar
Post a Comment